Jumat, 23 Juli 2010

Pantai Tanjungpasir Terancam Tenggelam (Teluknaga)

Bisa jadi Tanjungpasir saat ini merupakan satu-satunya kawasan pantai yang masih bisa dinikmati sebagai objek wisata di pantai utara Tangerang. Di sini masih dapat dinikmati kehalusan pasir pantai dan embusan angin laut. Puluhan warung makan yang menyediakan hidangan makanan laut menambah semarak tempat wisata di sini.

Para pengunjung dapat pula naik kapal untuk sekadar berkeliling menikmati keindahan alam pantai utara bahkan sampai ke Kepulauan Seribu dari tempat ini. Karena hampir dapat dikatakan tidak ada lagi tempat di Tangerang selain Tanjungpasir yang layak dikunjungi sebagai lokasi objek wisata pantai. Karena yang bisa disaksikan hanyalah lahan yang rusak dan berlumpur.

"Mau ke mana lagi. Satu-satunya pantai yang ada pasirnya ya di sini. Lainnya lumpur semua," ujar Sutrisno, warga perumahan Pondok Permai Kutabumi, Mauk, Tangerang.

Sutrisno memang benar. Kerusakan di kawasan Pantai Utara Tangerang memang sudah sangat parah dan mencemaskan. Bahkan, sejumlah penduduk di beberapa wilayah terpaksa harus berpindah karena ombak besar telah menggeser tempat tinggal mereka.

Catatan Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang menyebutkan, kerusakan di kawasan Pantai Utara Tangerang terjadi dan makin tidak terkendali mulai dari kecamatan Teluknaga, Pakuhaji, Sukadiri, Mauk, Kresek, Kronjo, hingga Sepatan.

Kerusakan karena abrasi ini mengakibatkan sejumlah pemukiman nelayan hilang tergerus air laut. Para nelayan terpaksa menggeser rumahnya ke lahan daratan karena setiap tahunnya kerusakan lahan karena abrasi ini mencapai puluhan meter. Bahkan, dalam tiga tahun ini ada kawasan yang kehilangan daratan hingga mencapai 500 meter. Selain pemukiman, puluhan hektare lahan tambak juga hilang tak berbekas.

Diketahui pula kerusakan wilayah pesisir pantai utara Tangerang akibat abrasi terjadi di 25 titik dengan tingkat kerusakan setiap titiknya sepanjang 300 - 500 meter. Namun, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tangerang tidak menyediakan dana untuk pencegahan abrasi ini. Bahkan, dalam APBD tahun 2005 ini, Pemkab Tangerang hanya mengalokasikan dana sebesar Rp 300 juta untuk membuat pemecah gelombang.

"Kita memang prioritaskan pemecah gelombang dulu. Karena dengan pemecah gelombang, sedimentasi laut akan berkurung dan nantinya bisa dijadikan daratan. Baru setelah itu, lahan ini bisa ditanami dengan pohon bakau," ujar Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Tangerang, Didin Samsudin kepada Pembaruan di ruang kerjanya, Rabu (6/4).

Di Tangerang, keberadaan hutan bakau atau hutan mangrove nyaris tidak ada lagi. Pada tahun 2002 pernah ada program penanaman bakau tetapi proyek APBD senilai Rp 2,5 miliar ini gagal total karena gerusan air laut lebih besar dan menumbangkan serta menghanyutkan pohon-pohon yang ditanam.

Hal ini dikarenakan penanganan kawasan yang terkena abrasi kurang didukung dengan teknologi. Pohon bakau ditanam di ka-wasan berlumpur, padahal dalam kondisi yang demikian tanaman lebih mudah tumbang dan hanyut terbawa ombak. Sehingga tidak satu batang pun pohon bakau ini tumbuh.


Tak Sediakan Dana

Menurut Didin, kerusakan wilayah pesisir pantai utara Tangerang akibat abrasi terjadi di 25 titik dengan tingkat kerusakan setiap titiknya sepanjang 300 - 500 meter. Namun, Pemkab Tangerang tidak menyediakan dana untuk pencegahan abrasi ini. Bahkan, dalam APBD tahun 2005 ini, pemkab hanya mengalokasikan dana sebesar Rp 300 juta untuk membuat pemecah gelombang.

"Tapi saya belum yakin betul apa dana sebesar itu cukup untuk pembangunan pemecah gelombang. Sebab, untuk bangunan sepanjang 100 meter dibutuhkan dana sekitar Rp 500 juta," ujar Didin Samsudin.

Minimnya dana untuk pencegahan abrasi di sepanjang 51 km wilayah pantai utara itu karena terbatasnya anggaran yang disediakan Pemkab Tangerang. Daerah ini memang belum memprioritaskan anggarannya untuk perbaikan lingkungan.

Permasalahan lain dalam mengatasi kerusakan lahan adalah masih terjadinya tumpang-tindih kepemilikan lahan antara Pemkab Tangerang dengan Departemen Kehutanan.

Menurut Didin, Departemen Kehutanan harusnya melakukan pemetaan ulang kawasan yang diklaim sebagai kewenangannya karena kenyataan di lapangan banyak lahan yang sudah terkikis habis. Jika pun dikatakan sebagai hutan mangrove, kata Didin, sekarang ini justru hampir sudah tidak ada akibat abrasi dan eksploitasi besar-besaran di bidang pertambakan.

Bahkan, berdasarkan foto udara tahun 2002, kerusakan sudah sangat parah dan tidak mungkin dilakukan perbaikan dalam waktu cepat. Untuk penanaman pohon bakau saja sudah tidak mungkin karena akan sia-sia. Lahan di kawasan pantai juga tidak produktif karena sedimentasinya sudah sangat tinggi dan sulit diperbaiki, karena kerusakan sudah mencapai puluhan ribu hektare dengan kerusakan mencapai antara 600 meter hingga 1 km dari bibir pantai.

Pemecah gelombang yang pernah dibangun di Mauk, kini rusak akibat hantaman ombak yang memang sangat besar serta kurangnya pemeliharaan. Demikian pula penanaman hutan bakau semua tidak ada yang bisa diselamatkan karena terbawa arus ombak. Salah satu upaya adalah dengan reklamasi. Namun tentunya membutuhkan dana yang besar.

Sementara hasil penelitian yang dilakukan Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Tangerang beberapa waktu lalu memperkirakan sekitar 197,3 hektare lebih perkampungan nelayan yang sudah tersapu bersih oleh ombak besar. Bahkan, ada beberapa rumah nelayan sudah terendam air laut. Diperkirakan pula intrusi air laut sudah mencapai 5 km dari garis pantai.

Jika Dinas Lingkungan Hidup mencatat kerusakan kawasan pantai terjadi di 25 titik, Dinas Perikanan dan kelautan Kabupaten Tangerang mencatat abrasi terjadi hanya di 21 titik. Panjang pantai yang terus menyusut itu mencapai sekitar 12,6 km setara dengan 24 persen panjang pantai.

Sedangkan panjang pantai di Kabupaten Tangerang mencapai 51 km dan yang mengalami abrasi di setiap titik bervariasi antara 600 hingga 800 meter.

Jika dikalkulasi setiap titik mengalami abrasi sepanjang 600 meter, maka panjang pantai yang terkena abrasi sudah mencapai 12,6 kilometer. *

Pembaruan/Dewi Gustiana


Sumber :
http://www.suarapembaruan.com/News/2005/04/09/Jabotabe/jab14.htm
9 April 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar